Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-79, sebuah aksi protes mencolok dilakukan di Jembatan Pulau Balang, Kalimantan Timur. Spanduk raksasa bertuliskan "Indonesia Not For Sale, Merdeka" atau "Indonesia Tidak untuk Dijual, Merdeka" menjadi sorotan utama, mengungkapkan keresahan mendalam tentang kerusakan lingkungan dan kelemahan demokrasi yang sedang melanda Indonesia.
Aksi ini, yang diinisiasi oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dan warga setempat di Penajam Paser Utara, merupakan bentuk peringatan terhadap masalah-masalah yang dianggap mengancam kemerdekaan dan keberlanjutan negara. Acara ini dimulai dengan upacara bendera yang diikuti oleh masyarakat dan organisasi di Pantai Lango, Kecamatan Penajam. Setelah itu, aktivis Greenpeace membentangkan kain merah berukuran 50×15 meter di Jembatan Pulau Balang dengan tulisan “Indonesia is not for sale, Merdeka!” Selain itu, banner lain dengan pesan-pesan serupa juga terlihat pada parade perahu di bawah jembatan.
“Permintaan maaf Presiden Jokowi dalam pidato kemerdekaan kemarin tidak cukup mengatasi masalah ketidakadilan yang semakin memburuk. Proyek IKN yang diklaim sebagai kebanggaan pemerintah ternyata merampas hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta memberikan keuntungan besar bagi oligarki,” ujar Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Greenpeace Indonesia. Ia menambahkan bahwa izin penguasaan lahan hingga 190 tahun untuk investor menunjukkan bahwa negara ini seperti dijual murah, sedangkan kerusakan lingkungan dari proyek IKN memperburuk krisis iklim.
Menurut data Forest Watch Indonesia (FWI), sekitar 20 ribu hektare hutan di area IKN hilang dalam lima tahun terakhir. Tutupan hutan alam di wilayah IKN kini hanya tersisa 31.364 hektare, termasuk kawasan mangrove yang menyusut drastis. Proyek pembangunan IKN, yang dinyatakan sebagai “forest city,” dinilai tidak sesuai dengan upaya melindungi hutan alam yang tersisa atau memulihkan yang telah rusak.
“IKN merupakan simbol dari kemegahan yang menyimpang dari semangat kemerdekaan. Sementara infrastruktur megah dibangun, konflik agraria, dampak ekologis, dan kriminalisasi dikaburkan. Pembangunan IKN juga menimbulkan korban diam, seperti orangutan, bekantan, dan keanekaragaman hayati lainnya,” tambah Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim.
Masalah tidak berhenti di situ. Pembangunan IKN juga mempengaruhi keanekaragaman hayati di Teluk Balikpapan, termasuk penghancuran mangrove yang menjadi habitat berbagai spesies laut. Pembangunan yang merusak ini berdampak pada konflik dengan warga lokal dan merusak ekosistem yang telah ada selama bertahun-tahun.
“Masyarakat pesisir masih belum merdeka dalam mengelola wilayah mereka sendiri. Kebijakan pembangunan ini justru semakin merugikan mereka dan lingkungan sekitarnya. Ironisnya, hal ini terjadi di hari kemerdekaan yang seharusnya menjadi momen perayaan kebebasan dan keadilan,” kata Mappaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir Balikpapan.
Pembangunan IKN juga mengakibatkan beban ekonomi yang berat. Pemerintah Jokowi telah menggelontorkan Rp72,3 triliun dari APBN untuk proyek ini, dengan total biaya mencapai Rp466 triliun. Selain itu, anggaran sebesar Rp87 miliar telah digunakan untuk upacara HUT RI ke-79 di IKN. Meike Inda Erlina, Juru Kampanye Trend Asia, menyoroti bahwa proyek IKN mengakibatkan pemborosan anggaran yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. “Laporan ‘Ibu Kota Baru untuk Siapa’ menunjukkan bahwa elite ekonomi-politik yang dekat dengan pemerintahan saat ini mendapatkan keuntungan terbesar dari proyek ini.”
Pemerintah diharapkan untuk memperbaiki Kalimantan Timur yang mengalami krisis multidimensi. Namun, kritik menyebutkan bahwa Jokowi justru melanggengkan praktik kolonial dengan memberikan peluang bisnis besar kepada oligarki, tanpa mengatasi masalah mendasar di Jakarta atau di daerah lain. Proyek IKN tidak hanya mempengaruhi Kalimantan, tetapi juga berdampak pada daerah lain seperti Palu, Sulawesi Tengah, yang merasakan dampak negatif dari pertambangan untuk bahan material IKN.
“Pemindahan ibu kota tidak menyelesaikan masalah Jakarta, seperti sampah plastik, banjir, dan kemacetan. Langkah ini seharusnya diikuti dengan perombakan kebijakan struktural yang lebih inklusif dan berkelanjutan, yang mengedepankan kelestarian lingkungan dan kepentingan rakyat,” tutup Meike Inda Erlina.
Aksi ini menggambarkan kegelisahan mendalam masyarakat terhadap dampak pembangunan besar-besaran yang tidak memperhatikan keseimbangan ekologis dan hak-hak masyarakat lokal, menuntut perubahan yang lebih adil dan berkelanjutan di hari kemerdekaan ini.